Jumat, 16 November 2012


LATIHAN KHUSUS MPA-KHATULISTIWA XIII

Baru-baru ini kami selesai mengadakan acara LATSUS alias Latihan Khusus untuk angkatan XIII.  Setelah kurang lebih dua bulan Tino Bachtiar alias Anyep menjabat menjadi Ketua Umum (ketum) MPA-Khatulistiwa, LATSUS merupakan kegiatan pertama untuk kepengurusan periode 2012/2013.  Dilihat dari namanya pasti udah pada tau kalau latsus merupakan pelatihan khusus bagi peserta MPA-Khatulistiwa yang masih Anggota Baru atau yan baru saja dilantik sebagai keluarga besar MPA-Khatulistiwa. Latihan Khusus yang dimaksut disisni adalah pelatihan yang berkaitan dengan kepecinta alaman seperti, Konservasi, Wall climbing, Rock Climbing, PSPB, SAR, Navdart, Fotografi, dan ORAD. Pelatihan ini dilakukan setiap tahunnya untuk menambah pengetahuan atau pemantapan materi bagi para keluarga MPA-khatulistiwa yang masih berstatus sebagai Anggota biasa gitu deh.... 
Kalau banyak orang yang berfikir tentang angka XIII adalah angka sial, hal itu gak berlaku bagi angkatan XIII MPA-Khatulistiwa. Mengapa demikian...??? karena angkatan ini merupakan angkatan tangguh loh, terbukti dengan semangat mereka yang gak pernah padam dalam mengikuti LATSUS XII ini. Pengen Tahu pesertanya sapa aja...?? akan ami perkenalkan, yang pertama ada sang Katupat LATSUS yaitu Capli, dan sekretaris setianya Sepo, si caping, potel, cowek. Gak ketinggalan juga nih si leceng, baler, merutu, dan jukir... Mereka semua adalah calon-calon penerus Mpa-khatulistiwa yang bakalan meneruskan perjungan organisasi tercinta ini...
Latihan Khusus ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan para anggota Khatulistiwa khususnya dalam bidang kepecinta alaman... hem..hem... asyik nih ya... udah belajar organisasi, belajar sambil jalan-jalan, pengetahuan tambah luas..
foto-foto in i merupakan sebagian dari foto-foto selama kegiatan latsus... 

Tetap semangat ya para peserta latsus karena setelah ini kalian akan dihadapkan pada EXPEDISI XIII... mungkin kata hebat yang paling tepat untuk para peserta latsus karena sudah bekerja keras...
semoga slalu semangat... :)

Selasa, 07 Agustus 2012

Situs Gunung Padang di Cianjur : Maha Karya Terpendam Peradaban Purba Nusantara

Situs Gunung Padang di Cianjur

Balok-balok batu berserakan di mana-mana, berpusat di gunung yang berusia sangat tua sekali. Tidak hanya di sana tetapi juga di pesawahan, di sekitar rumah-rumah penduduk, bahkan diperkirakan masih tak terhitung jumlahnya tertanam di bawah bukit dan tanahnya yang amat subur. Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.

Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha. Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran yang berbeda-beda, unik sekaligus melayangkan dalam benak Anda, sisa apa ini sebenarnya?

Tepat di puncak gunungnya, bebatuan tersebut berserakan dengan denah mengkerucut dalam 5 teras. Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 SM (Sebelum Masehi). Situs megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur. Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs megalitik Situs Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama Piramida di Mesir.

Kata “padang’” dalam bahasa Sunda berarti caang atau terang benderang. Ada juga pengertian lain dari istilah “padang”, yaitu: pa (tempat), da (besar; agung), dan hyang (eyang; moyang; leluhur), dari ketiga kata tersebut kemudian kata ‘padang’ dimaknakan sebagai tempat agung para leluhur.

Situs Gunung Padang di CianjurSitus Gunung Padang merupakan peninggalan zaman batu besar yang tak ternilai harganya. Bentuknya berupa tiang-tiang dengan panjang rata-rata sekitar 1 meter dan berdiameter rata-rata 20 cm, berjenis  andesit, basaltik, dan basal. Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian rupanya teratur berbentuk pentagonal (lima sudut). Angka 5 juga seakan memberikan identitas pemujaan bilangan ‘5’ oleh masyarakat Sunda dahulu kala. Hal ini membedakannya dengan Babylonia yang menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno dengan angka 7.  Simbol ‘5’ tersebut mirip dengan tangga nada musik Sunda pentatonis, yaitu: da mi na ti na. Oleh karena itulah, selain kompleks peribadatan purba, banyak juga menyebut Situs Gunung Padang sebagai teater musikal purba.

Batu-batu andesit Situs Gunung Padang tersebut hanya dapat ditemui di sekitar Gunung Padang. Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tidak ada lagi batu-batu besi seperti itu. Masyarakat setempat percaya bahwa batuan andesit itu terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir dan dicuci di satu empang yang disebut Kampung Empang. Hingga kini terhampar berserakan sisa-sisa ukiran batu purba tersebut. Kampung Ukir dan Kampung Empang berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.

Situs Gunung Padang di Cianjur
Situs Gunung Padang di Cianjur
Sketsa Situs Megalitik Gunung Padang berdasarkan tinjauan arsitektur
(Pon S Purajatnika)

Situs Gunung Padang pertama kali tahun 1914 yang termuat dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) atau Buletin Dinas Kepurbakalaan pemerintah Hindia Belanda. Seorang sejarawan Belanda ternama yaitu N. J. Krom sempat menguraikannya tetapi belum banyak keterangan lebih lanjut mengenai informasi keberadaannya.

Kajian arkeologi, sejarah, dan geologi kemudian dilakukan Puslit Arkenas sejak 1979. Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Hal itu karena mayoritas artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada masa kebudayaan Dongson (500 SM).

Para arkeologi sepakat bahwa Situs Gunung Padang bukan merupakan sebuah kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914) tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan masyarakat Sunda Kuna. Selain itu, situs ini juga dibangun dengan posisi memperhatikan pertimbangan geomantik dan astromantik.

Situs Gunung Padang secara astronomis ternyata berharmoni dalam naungan bintang-bintang di langit. Analisis dengan planetarium yang dilacak hingga ke tahun 100 M menunjukkan bahwa posisi Situs Gunung Padang pada masa prasejarah menunjukan berada tepat di bawah langit yang lintasannya padat bintang berupa jalur Galaksi Bima Sakti. 

 
Sementara itu, bagi masyarakat setempat, mereka meyakini bahwa reruntuhan bebatuan ini berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran yang ingin membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya mengumpulkan balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi, sayang upaya tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga bebatuan vulkanik masif yang berbentuk persegi panjang itu dibiarkan berserakan di atas bukit. Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan yang sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk oleh tangan manusia. Bebatuan ini jumlahya sangat banyak dan tersebar hampir menutupi bagian puncak Gunung Padang. Penduduk menamakan 5 teras di gunung ini dengan nama-nama bernuansa Islam, yaitu: Meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog (tempat duduk) Eyang Swasana, Sandaran Batu Syeh Suhaedin (Syeh Abdul Rusman), Tangga Eyang Syeh Marzuki, dan Batu Syeh Abdul Fukor.

Situs Gunung Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua adat masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan yang telah berlangsung sejak 2.000 lalu.
 
Situs Gunung Padang di Cianjur


Berkaitan umur Situs Gunung Padang, ada yang berpendapat dibangun pada masa Prabu Siliwangi dari Kerajaan Sunda sekitar abad ke-15 karena ditemukan guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu. Akan tetapi, arkeolog berpendapat lain, situs ini umurnya jauh lebih tua 2500-400 SM. Hal tu berdasarkan bentuk monumental megalit dan catatan Bujangga Manik, yaitu seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda dari abad ke-16 yang menyebutkan suatu tempat yaitu Kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati orang Sunda) berada di hulu Sungai Cisokan yang berhulu di sekitar Gunung Padang. Bujangga Manik juga menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.




Sumber : http://www.indonesia.travel/id/destination/703/situs-gunung-padang-di-cianjur/

Minggu, 26 Februari 2012

 

Kerusakan Mangrove di Jawa Tengah Capai 5.000 Hektare
Oleh Olivia Lewi Pramesti  | 22-02-2012 | http://ngi.cc/nJX | alam dan lingkungan




Kerusakan hutan mangrove di Jawa Tengah diperkirakan mencapai 5.000 hektar atau sekitar 90 persen dari total hutan mangrove di sepanjang Pantura wilayah Provinsi Jawa Tengah. Sementara itu kerusakan  terparah terjadi di tujuh wilayah diantaranya Kabupaten Jepara, Rembang, Demak Semarang. Kendal, Tegal dan Brebes.

Hal ini ditegaskan oleh Menteri Kelalutan dan Perikanan, Sharif C Sutarjo dalam acara Ayo Tanam Mangrove (ATM) di Desa Wonorejo, Kecamatan Kaliwungu, Kendal, Rabu (22/2). Ia mengatakan, untuk mengantisipasi kerusakan yang lebih parah, pihaknya  mengajak seluruh elemen masyarakat untuk ikut menggerakkan Ayo Tanam Mangrove (ATM).

"Setidaknya program ini akan mampu untuk melestarikan dan melakukan peremajaan hutan mangrove,"katanya.

Ia melanjutkan, pelestarian mangrove memiliki banyak manfaat. Selain sebagai tempat pemijahan ikan, mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin,serta  penyaring intrusi air laut ke daratan.

Sementara itu,dalam acara penanaman 294 ribu Mangrove tersebut, juga  diserahkan bantuan berupa paket bantaun Pengembangan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) senilai 21,7 miliar, fasilitas sarana air bersih Rp 8,4 miliar, pengembangan Desa pesisir Tangguh (PDPT) senilai Rp 12,4 miliar. Selain itu ada bantuan untuk pembangunan sabuk pantai senilia Rp 1,1 miliar, alat pemecah ombak Rp 300 juta, Pengembangan Teknologi Garam Rakyat Rp 200 juta dan prasarana desa pesisir senilai Rp 50 juta.


sumber : http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/2849/kerusakan-mangrove-di-jawa-tengah-capai-5000-hektare